Forum Silaturrahmi Organization Of Gold

Monday, April 11, 2011

KETIDAKADILAN Vs KETIDAKPASTIAN HUKUM

PENDAHULUAN
Indonesia, sebuah negara merdeka yang sering disebut dengan mutiara atau jamrud katulistiwa, seperti negara-negara lain di dunia, memiliki beberapa identitas pokok dan undang-undang sejak berdrinya. Identitas pokok tersebut, Pertama, bentuk negara kesatuan, artinya, jati diri bangsa Indonesia sejak priklamasi kemerdekaan selalu berwujud negara kesatuan atau unitaris. Kedua, negara demokrasi. Meskipun masih saja diperdebatkan apakaha Indonesia pernah menerapkan secara sungguh-sungguh dalam sejarahnya, namun semua pemimpin dan rakyat tidak penah sekalipun mengingkari demokrasi sebagai idealitas tertinggi dalam relasi negara dan rakyat. Ketiga, negara republik. Artinya, struktur kekuasaan yang ada diatur sedemikian rupa sehingga rakyat menjadi pemegang kedaulatan tertinggi. Keempat, negara kesejahteraan. Dalam konteks ini, semua produk pembangunan dan undang-undang yang diselenggarakan yang diterapkan selalu mengacu pada paradigma kesejahteraan bagi warga negaranya. Kelima, negara hukum. Dengan mengklaim sebagai negara hukum, membawa konsekuensi bagi siapa saja untuk menempatkan aturan dan undang-undang hukum pada posisi tertinggi dalam pengendalian dinamika sosial di masyarakat.
Dari lima identitas pokok bangsa Indonesia, dalam pembahsan ini yang menjadi kajian utama adalah identitas pokok yang kelima, oleh sebab itu sutau kekeliruan yang sanggat besar apabila pemerintah Indonesia mengbaikan segala produk regulasi pemerintah yang berupa aturan-aturan hukum (undang-undang, perpu, inpres dan sebagaianya), dan kebijakan publik, semua itu tidak bisa lepas dari identitas pokok bangsa Indonesia. Jika kita perhatian kondisi aktual bangsa Indonesia yang sedang mengalami perubahan besar saat ini, diskusi tentang hukum, ketidakadilan, dan kebijakan publik adalah sebuah tema yang menarik untuk kita kaji bersama, karena dalam praktek penyelanggaraan negara adalah sebagai persoalan hukum dan kebijakan publik yang sering kali menimbulkan kekcewaan masyarakat, mungkin disebabkan adanya ketidakadilan dan ketidak pastian hukum secara universal.
Dalam UU No.22/1999 adalah sebuah produk hukum yang seyogyanya memilki kepastian hukum sebagai sisi mutlaknya. Kepastian hukum yang di miliki undang-undang, membawa akibat bahwa setiap apa yang telah diatur dalam produk hukum itu harus ditaati oleh siapa saja yang dikenai oleh produk hukum itu untuk dilaksanakan dengan baik dan benar. Namun, dalam kenyataanya, seiring dengan dibukanya era perdagangan bebas, benturan-benturan antara produk hukum dalam konteks kepublikan dengan kebutuhan riil masyarakat akan semakin tidak bisa dihindarkan. Proses pertukaran ekonomi teah mengakibatkan perpindahan uang jauh lebih cepat daripada perpindahan ideologi, budaya, kekuasaan maupun nilai-nilai.
Dalam hal ini Pasal 1 ayat 1 juga memberikan gambaran, yaitu lebih mementingkan kepastian hukum daripada keadilan sosial, Jika kita berpegang secara teguh terhadap asas legalitas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP maka pertanyaan ini tak akan muncul, karena konsekuensinya sudah jelas, yaitu terhadap perbuatan yang demikian tak akan ada hukumannya dan pelakunya bebas dari jerat hukum. Pertanyaan ini menjadi lebih tajam jika dikaitkan dengan persoalan keadilan bagi para korban kejahatan, apakah hukum akan mengabaikan salah satu fungsinya dengan membiarkan ketidakadilan bagi para korban dengan menguntungkan pelaku kejahatan. Perlu diingat hal itu akan mencederai keadilan hukum yang ada di masyarakat khususnya hukum yang hidup dalam masyarakat The Living Law. Sekarang permasalahan yang konkrit yang akan saya angkat dalam pembahasan ini adalah bagaimana menyikapi ketidakadilan dan ketidakpastian hukum?
PEGERTIAN KEADILAN
Salah satu sifat yang harus di milki manusia adalah berlaku adil dan jujur dalam rangka menegakan kebenaran kepada siapa pun tanpa terkecuali, yang dititik beratkan kepada para penguasa negara, pejabat pemerintahan serta orang yang memegang kendali pengdalian (hakim). Secara terminologis, adil berarti “mempersamakan ssuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupu dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu tidak menjadi berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain”. Adil juga berarti “berpihak atau berpegang pada kebenaran”. Sedagkan keadilan lebih dititik beratkan pada pengertian “meletakan sesautu pada tempatnya” (wad’ asy-syai’ fi mahallihi). Berlaku adil sanggat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimilki oleh seseorang, termasuk hak asasi, harus diperlakukan secara adil menurut undang-undang yang telah ditetapkan dan tidak ada penyelewengan dan kecurangan dalam pelaksanaan hukum. Hak dan kewajiban terkait pula dengan amanah (kepercayaan), oleh karena itu orang yang dipercaya dalam memutuskan hukum bagi siapa saja harus bersikap adil serta memberikan kepastian hukum secara universal dan jelas, sehigga tidak ada menupulasi dan penyelewengan suatu hukum pada suatu negara, siapa yang salah harus dihukum sesuai prosedur undang-undang yang berlaku, dengan tidak melihat strata sosial atau jabatan yang diembanya. Dalam beberapa bidang hukum. Persyaratan adil sanggat menentuka benar atau tidaknya dan sah atau batalnnya suatu hukum, sehingga alasan apa pun tidak data diterima untuk berlaku tidak adil.
PENERAPAN HUKUM (RECHTSTOEPASSING) DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Dalam kontek peradilan hukum kita mengenal adaya yurisprudensi, yaitu sebuah sumber hukum yang diambil dari sebuah putusan hakim terdahulu yang telah terjadi pada waktu lampau. Pada dasarnya di dalam penerapan hukum (rechtstoepassing) itu secara teoritik tergantung pada empat unsur yaitu; unsur-unsur hukum, unsur-unsur structural, unsur-unsur masyarakat dan unsur-unsur budaya. Keempat unsur tersebut merupakan kenyataan-kenyataan yang harus dicermati dalam melakukan penerapa hukum. Sebab pada dasarnnya sukses tidaknya sebuah penerapa hukum sanggat tergantung pada bagaimana keempat unsur tersebut di atas terkondisikan dengan baik.
Pertama, adalah unsur hukum. Yang dimaksud dengan unsur hukum disini adalah produk atau teks aturan-aturan hukum. Sebuah produk hukum dengan segala sifat kepastian hukum yang dimilikinya menuntut masyarakat maupun paratur hukum untuk selalu tunduk dan patuh kepada tata aturan yang dirummuskan dalam produk hukum tersebut. Dan, sekian banyak tata aturan dalam hukum atau undang-undang itu tidak bleh dilanggar, ataupun ditafsirkan seenaknya saja. Sehingga dalam hal penerapan hukum, unsur ini menjadi sebuah acuan dasar bagi siapa saja yang berkait dengan hukum yang telah diterapkan. Kedua, unsur structural, unsur ini dalam penerapan hukum sanggatlah berkaitan dengan lembaga-lembaga tau organisasi-organisasi yang diperlukan dalam penerapan hukum. Sebab aumsinya adalah sebaik apapun substansi dari produk hukum tanpa menadapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat maka mustahil produk hukum tersebut akan berjalan dengan baik. Ketiga, unsur masyarakat. Yang dimaksud dengan unsur masyarakat adalah berkaitan dengan bagaimana kondisi social politik dan social ekonomi dari masyaraat yang akan terkena damapak atas diterapkanyasebuah aturan hukum atau undang-undang. Unsur masyarakat ini juga sanggat penting dalam menentukan sukses tidaknya sebuah penerapan hukum. Sebab pada dasarnya masyarakat yang akan memberikan respon atas pelaksanaan suatu undang-undang atau aturan hukum yang ada. Respon masyarakat yang muncul itu akan menentukan kelanjutandari penerapan hukum yang sedang berjalan. Keempat, unsur budaya. Yang dimaksud dengan unsur budaya di sini adalah berkaitan dengan bagaimana sisi kontekstualita sebuah undang-undang yang hendak diterapakan dengan pola piker, pola prilku, norma-norma, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat. Unsur budaya dalam penerapan hukum ini sanggatlah penting sebab berkaitan denganbagaimana pemaknaan masyarakat atas sebuah introduksi nilai yang hendak ditranformasikan oleh sebuah produk hukum atau undang-undang tertentu. Dalam hal ini unsure budaya juga dapat menjadi masalah dalam penerapan hukum. Artinya, bila antara introduksi nilai dari sebuah undang-undang ternyata tidak sesuai dengan budaya yang selama ini dianut oleh masyarakat secara universal maka peneapan hukum tentunya akan menuai kendala. Bentuk kendalannya adalah, berkaitan dengan penafsiran masyarakat atas sebuah undang-undang, dan ini akan berujung pada akseptabilitas masyarakat atas undang-undang atau produk hukum tersebut di lapangan.
KEJAHATAN DALAM PENEGAKAN HUKUM
Secara empiris definisi kejahatan dapat dilihat dari dua prespektif, Pertama, adalah kejahatan dalam prespektif Yuridis, kejahatan dirumuskan sebagai perbuatan yang oleh negara harus diberi pidana. Kedua, kejahaan dalam arti (prespektif) sosiologis (kriminologis) merupakan suatu perbuata yang dari sisi sosiologis merupakan kejahatan, sedangkan dari sisi yuridis (hukum positif) bukan merupakan suatu kejahatan. Secara sosiologis kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan dan tingkah laku orang secara ekonomis, politis da soaial-psikologis sanggat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila dan menyerang keselamatan warga masyarakat.
Ketika kejahatan sudah atau sedang terjadi di tengah masyarakat dengan segala bentuk, modus operandi, dan akibatnya, maka eksistensi hukum dituntut dan dieksaminasi kemapuhanya. Khususnya melalui parat yang telah mendapatkan tugas dan kewajiban untuk menegakanya. Kejahatan akan tetap menjadi kejahatan dan potensial mendorong lahirny berbagai jenis kejahatan baru jika aparat penegak hukum gagal mengemban dan mewujudkan misi penegakan hukum. Pengertian penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanaan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaanya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran, maka memulihkan hukum yang dilanggar itu suapya ditegakkan kembali (Abdul kadir Muhammad, 1997). Pengertian ini menunjukan, bahwa penegakan hukum itu terletak pada aktifitas yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Aktifitas penegakan hukum itu terletak pada uapya yang sungguh-sungguh dan penuh keberanian untuk mewujudkan norma-norma yuridis. Mewujudkan norma berarti menerapkan aturan yang ada untuk menjerat atau menjaring siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum menajdi kata kunci yang menentukan berhasil tidaknya penegakan hukum (law enforcement).
Penagakan hukum dilakukan dengan peindakan hukum menurut urutan sebagai berikut;
1. Teguran peringgatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan sampai terulang kembali (delik percobaa).
2. Pembebanan kewajiban tertetu (ganti keridgian, denda).
3. Penyisishan atau pengecualian (pencabutan hak-hak tertentu).
4. Pengenaan sanksi badan (pidana penjara, pidana mati)
Urutan tersebut lebih menunjukan pada suatu tuntutan moral-yuridis yang berat terhadap aparat penegak hukum agar dalam menjalankan tugas, kewenangan, dan kewajibanya dilakukan secara maksimal. Kesuksesan law enforcement hukum dalam mengimplementasikan system hukum. Kalau system hukum ini gagal dijalankan, maka hukum akan kehilangan sakralitas social.
PENEGAHAKN HUKUM YANG LEMAH DAN KERDIL
Cita-cita menegakan ideology Negara hukum akan terus muncul dalam masyarakat. Walaupun selalu terjadi perbenturan antara hukum dan kekuasaan. Dilihat dari dilasafat hukum, kekuasaan harus berdasarkan hukum. Ini juga telah ditegaskan dalam UUD 1945 sehingga Negara Indonesia adalah Negara hukum. Presiden menjalankan kekuasaanya berdasarkan UUD 1945. Prisnsipnya, kekuasaan itu harus tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum. Tetapi dalam kenyataan selalu ada hubungan dilematik antara hukum dan kekuasaan. Kekuasaan harus didasarkan pada hukum, smeentara hukum adalah produk dari kekuasaan. Di sinilah letak problematikanya. Hubungan dilematis antara hukum dan kekuasaan itu terjadi di mana-mana, lebih-lebih di Indonesia sekarag ini. Itu terlihat di bidang hukum tata negara dan adminstrasi negara di mana kepentigan-kepentingan politik cukup besar. Hukum juga merupakan sarana efektif untuk mempertahankan kekuasaan sehingga hubungan yang dilematis antara hukum dan kekuasaan belum terpecahkan.
Dalam persoalan ini, apakah produk hukum dalam bidang ketatanegaraan bisa mencerminan suatu kedailan. Secara sepintas dalam tujuan undang-undang adalah bisa memberkan keadilan aka tetapi dalam politik praktis sering tejadi penyimpangan-penyimpangan dan hukum yang ada di Negara tidak berdaya untuk mencegahnya. Sehubungan dengan kekonsekuenan dalam menerapkan prinsip keadilan erat sekali hubungan dengan pasal 33 UUD 1945. Karena itu, ketentuan dalam pemukuan UUD 45 yang mencantumkan keadilan dan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi diimpelemantasikan dalam pasal 33 UUD 45 tersebut. Akan tetapi pada tingkatan perundang-undanganya sampai penentuan kebijakan-kebijakanya seperti peraturan pemerintah, peraturan mentri dan pertauran presiden telah menimbulkan banyak kesenjagan dalam masyarakat. Pokok pangkal dari permasalahan ini adalah adanya hubungan dilematik anatara hukum dan kekuasaan, sehingga hukum sering kali tidak berdaya. Oleh karena itu kekuasaan itu dapat menciptakan peratura hukum yang adil harus memilki idealism yang tinggi dan kekuasaan itu juga harus tunduk pada prinsip-prinsip moral yang menadalam. Sehingga siapapun yang berkuasa tidak membuat produk yang hanya mementingkan diri sendiri atau golongan.
Dalam penjelas UUD 45 ditekankan bahwa semanggat penyelenggaraan Negara dengan secara demokrasi sanggatlah penting, sehingga terciptlah demokratisasi dalam suatu Negara, akan tetapi walaupun konsep undang-undang yang telah dirancang dengan menanamkan nilai-nilai demokrasi, akan tetapi dalam praktek nyata orang-orang yang mempunyai wewenang dalam bidang hukum melakukanya dengan secara tidak demokrasi, maka undang-undang Negara hanya sebatasa symbol formalitas untuk menutupi kebohongan para penguasa hukum, baik meneggunakan tendensi ekonomi maupun politik kepentingan. Secara tidak langsung politik yang disebut juga kekuasaan masih menjadi alat dalam berbagai kasus pertahanan kekuasaan, pembebasan kriminalisasi bagi kaum elit, pembungkaman rakyat untuk mengeluar hak bebas berbicara, dan berbagai kasus kebohongan yang lain. Seharusnya apabila hukum benar-benar sebagai alat untuk memperoleh keadilan, maka kasus-kasus tersebut ahrus diselesaikan di lembaga peradilan yang sehat dan jujur. Dalam lembaga peradilan pun terlihat dalam prakteknya sering kali tidak dapat memainkan perananya secara optimal sebagai lembaga independen. Norma-norma hukum harus mengekspresikan keadilan, kedilan itu adalh jiwa dari hukum. Bahwa kita harus adil dalam perintah moral. Keadilan yang bersifat moral itu masih belum jelas batasan-batasannya karena itu diebntuk hukum yang dapat menjamin semua kelompok terjamin kepastian hukumnya dan tidak terjadi pemaksaan keinginan. Ekspresi kedailan itu harus diatur dalam bentuk hukum sehingga tidak ada lagi privelese-privelese untuk orang-orang atau golongan tertentu.
PRINSIP DAN PERAN KEADILAN
Keadilan adalah kebijakan utama dalam inindtitusi sosia, sebagaimana kebenaran dalam system pemikiran. Sutau teori, betapapun elegan dan ekoomisnya, harus ditolah dan direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hokum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi dan dihapus jika tida adil. Setiap orang memilki kehormatan yang berdasar pada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekaipun tidak bisa membatalkanya. Atas dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal lebih besaryang didapatkan orang lain. Kedailan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakanpada segelintir orang diperberat oleh sebagianbesar keuntungan yang dinikmati oleh bayak orang. Karena itu, dalam masyarakat yang adil kebebasan warga Negara dianggap mapan; ak-hak yang dijamin oleh kedaian tidak tunduk pada tawar-menawar politik atau kalkulasikepentingan social.
Proposisi teresebut tampak menunjukan keyakinan intuitif kita tentang keutamaan keadilan, aturan-aturan dan unadang-undang membentuk system kerja sama yang dirancang untuk menujukan kebaikan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kemudian, kendati masyarakat merupakan ikhtiyar kooperatif demi keuntungan bersama, ia biasanya ditandai dengan konflik dan juga identitas kepentingan. Identitas kepentingan ini dikarenakan kerja sama social memungkinkan kehidupan yang lebih baikdari semua orang darai pada jika masing-masing hidup sendirian. Adanya konflik kepentinngan dikarenakan orang-orang berbeda pandangan dalam hal bagaimana pembagian keuntungan yang dihasilkan kerja sama mereka, setiap orang memilih bagian yang lebih besar dari pada yang sedikit seperangkat prinsip dibutuhkan untuk memilih diantara berbagai tatanan social yang menentuakan pembagian keuntungan tersebut dan untuk mendukung kesepakatan pembagian yang layak.
Banyak hal diaktakan adil dan tidak adil: tidak hanya hokum, institusi, da sisem social, bahkan juga tindakan-tindakan teretentu, termasuk kepetusan, penilaian, dan tuduhan. Subyek utama kedailan adalah terletak pada struktur dasar masyarakat, atau ebih tepatnya, cara lembaga-lembaga social utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama social. Melalui institusi-institusi politik utama dalam memahami konstitusi politik dan prinsip ekonomi serta tatanan sosial. Dalam membicarakan masalah ini kita membutuhkan sistem prioritas diantara unsur-unsur yang berbeda dalam teori, diantara prinsip-psrinsip kedalan menurut pandangan Rawls adalah ;
1. Prinsip pertama ; setiap orang mempunyai hak yang sama atas keseluruhanya sistem yang paling luas dari kebebasan-kebebasan dasar yang sama sesuai dengan sistem kebebasan serupa bagi semua orang
2. Prinsip kedua ; ketompangan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga keduanya;
(a). memberikan keuntungan terbesar untuk yang paling tidak di untungkan, dan
(b). membuka posisi-posisi dan jabatan bagi sumua dibawah kondisi-kondisi persaman kesemaptan yang fair.
Sedagkan aturan prioritas pertama adalh prioritas kebebasan. Prinsip kedailan diurutkan dalam tertib leksikal dan kerana itu kebebasan hanya dapat dibatasi demi kebebasan itu sendiri. Aturan perioritas kedua adalah keadlan atau efisiensi dan kesejahteraan. Prinsip keadilan secara lesikal lebih penting dari pada prinsip efisiensi dan prinsip memaksimalkan julah total keuntungan-keuntungan ; dan kesempatan yang fair lebih pentig daripada prinsip perbedaan. Prinsip-prinsip ini membentuk konsepsi khusus keadilan dan mencoba memberikan petunjuk yang sistematis yang tidak adapat dibenarkan oleh instituonisme.
KESIMPULAN
Semua ketetapan hukum yang berupa undang-undang atau aturan-aturan mempunyai kekuatan mencipatakan sebuah supremasi hukum, seperti norma-norma yang telag mengharskan prinsip-prinsip perlindungan dan advokasi terhadap hak asasi manusia. Dalam konteks perundang-undangan dan peradilan secara tidak kasat mata bhawasanya sanggat terlihat keperbihakan hokum terhdap kepentingan-kepentingan manusia, semisal untuk diperlakukan sederajat dalamkedudukan dan pertangunggjawaban hokum (equality before law), atau hak untuk di anggap.tidak bersalah (presumption of innocence) selama masih dalam implementasi sistem peradilan pidana (criminal justice system). Adanya dorongan serta kewajiaban untuk selalu belaku adil supaya setiap orang yang ikut menjadi pilar dalam penegakan hukum selalu mengedepankan rule of game yang berbasis eaglitarian (kesederajatan) dan praduga yang tidak bersalah pada setiap tahapan yang dilaluinya.
Ketika yudikatif, yang statusnya secara konstitusi berkedudukan sederajat dengan eksekutif dan legislatif, mengerakan elemen-elemenya sebagai panggilan dari amanah « kekuasaan » di bidang peradilan, seharusnya pilar-pilarnya mengabdi secara maksimal kepada panggilan penegakan hukum, menjaring atau menyeret siapa saja (tanpa terkecuali) yang diduga melanggar hukum, bukan memilih-milih sesuai dengan selera dan kepentingan pihak-pihak tertentu. Kalau sperti ini yang terjadi, maka sistem peradilan hanya sebuah sistem kebohongan yang berlindung disebuah nama yang selalu memberikan kedailan masyarakat, akan tetapi di dalamnnya hanya penuh dengan tipu daya. Pemberlakuan sistem demikian merupakan bentuk pengianatan terhadap amanah yang dipercayakan kepadanya.

Oleh : Abdul Rochim, S.Hi.

daftar isi